*Kisah Sudijo, Sang Penunggu Makam
Tidak banyak orang yang memiliki keberanian untuk tinggal bertahun-tahun dengan mayat di Kuburan, berikut cerita dibalik fakta yang dilami Sudijo, di kediamannya kawasan Jl Bangka Kelurahan Jawa Kanan SS Kecamatan Lubuklinggau Timur II.
Oleh : Eli Susilawati- Jawa Kanan SS
Lelaki berperawakan kecil tapi memiliki nyali besar ini menyambut kedatangan Musirawas Ekpres dengan penuh persaudaraan dan gelak tawa, bahkan penuh keramahan di rumah sederhananya yang berlokasi ditengah-tengah Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jawa Kanan SS. Walaupun Rumahnya dikelilingi dengan batu- batu nisan, tetapi Sudijo tidak merasa ngeri apalagi takut, karena menurutnya itu hal yang biasa.
Menjadi penunggu kuburan sudah menjadi profesi bapak satu anak ini selama 15 tahun, selain menunggu kuburan Dijo juga harus membersihkan rumput disekitar makam, merawat, menjaga dan menggali kuburan jika ada yang meninggal. Walaupun tinggal ditengah-tengah kuburan bersama satu orang istri yang selalu setia menemani dan seorang anak laki-lakinya tetapi Dijo yang telah berusia 55 tahun ini tidak pernah mengeluh apalagi berniat pindah mencari tempat tinggal di perkampungan yang banyak tetangga.
“Sekarang ni aku sudah ngeraso bersyukur pada Allah dengan kehidupan yang ada, memang ini sudah menjadi bagian saya” ungkapnya tegas.
Untuk menambah pendapatan rumahtangganya, Sudijo juga sering diminta tenaganya sebagai tukang masak (menanak nasi-red) ditempat orang hajatan karena masa mudanya dulu sempat bekerja di beberapa warung makan, menurutnya sekalian mengembangkan hobi masaknya karena kalau mengandalkan biaya dari penjaga makam Rp.500.000 per bulan, itupun didapat dari iuran sukarela warga sekitar.
Sebagai penjaga makam Dijo tidak memiliki rasa takut terhadap setan karena menurutnya Setan juga makhluk ciptaan Tuhan, kalau tidak mengganggu maka kita juga tidak akan diganggu, walaupun Dijo sering didatangi suara- suara dan mimpi aneh ketika akan ada orang yang meninggal.
Sebagai contoh Sudijo mengatakan “Entah ngapo jika nak ado wong ninggal samo nak nggali kuburan, seringnyo keranda disamping rumahnya berbunyi dan bergerak-gerak sendiri juga cangkul yang ditaruh dirumahnya” apa ini semacam wangsit (pertanda-red)? Namun segalanya ia pasrahkan pada Yang Maha Tahu.
Padahal orang tuanya di Jawa dahulu berharap setelah lulus dari SR (Sekolah Rakyat) dapat menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara, tetapi setelah merantau ke Sumatera sejak 1970, Sudijo justru lebih suka memberikan jasa untuk kepentingan masyarakat umum. (*)
0 komentar:
Posting Komentar