“Mura akan menempuh jalur hukum. Yang pasti secepatnya laporan kita didaftarkan oleh kuasa hukum Pemkab Mura dalam hal ini Abu Bakar, Insani dan rekan-rekan. Ini sejalan dengan laporan keberatan yang akan disampaikan kepada menteri Dalam Negeri ditembuskan kepada DPR RI. Dimana laporan akan kita lengkapi dengan semua yang berhubungan dengan permasalahan ini termasuk kronologis hingga kita WO (walk out) saat rapat di Depdagri atas undangan yang ditandatangani Gubernur Sumsel,” tegas Ridwan Mukti saat menggelar jumpa pers dengan wartawan di Pendopo Kabupatenan Mura Sabtu (28/11) lalu.
Selain menempuh jalur hukum pemkab Mura juga akan memuntut agar dana bagi hasil (DBH) migas atas Suban IV yang telah diberikan kepada Pemkab Mura sejak 2001 hingga 2007 setelah terbitnya Permendagri No 63/2007 yang menetapkan Mura sebagai pemilik sumur yang terletak di Kecamatan Rawas Ilir itu dikembalikan ke Pemkab Mura. Sebab berdasarkan Permendagri No 63/2007 itu DBH milik Mura karena Suban IV sudah ditetapkan masuk wilayah Mura sesuai dengan peta perang tahun 1962 yang berasal dari Jawatan Topografi Angkatan Darat dan hasil penelitian lain.
“Nominalnya dari 2001 hingga 2007 yakni Rp 280 Milyar dengan asumsi setiap tahun Rp 40 Milyar seperti ditetapkan dalam Permendagri. Perlu diketahui pula sejak terbitnya Permendagri No 63/1007 sejak itu pula DBH Rp 40 Milyar sudah masuk ke Mura. Jadi jelas tidak ada masalah lagi,” kata Ridwan Mukti. Namun selanjutnya muncul pemasalahan baru ketika Pemkab Mura dengan didukung Gubernur Sumsel, H Alex Noerdin yang mantan Bupati Muba menetapkan peta baru dimana Suban IV berada tepat diperbatasan tanpa dasar dan kaidah hukum yang jelas dengan alasan itu hasil dari kerja tim penetapan tapal batas.
“Padahal sudah sangat jelas tidak ada masalah dengan tapal batas dan peta sudah disepakati bersama-sama. Namun kenapa muncul peta baru dengan dibuat garis lurus hitam mencurigakan, itupun tanpa mengajak Mura. Nah ini tampaknya memang direncanakan,” paparnya. Terlabih ketika tanpa sebab yang jelas Gubernur membuat rekomendasi win win solution dimana untuk DBH Suban IV dibagi rata antara Mura dan Muba.
“Sebenarnya simple. Kalau memang Pemkab Mura yakin Suban IV masuk daerah mereka gugat atau mengajukan keberatan dalam hal ini judicial review atas Permendagri No 63/1007 saja. Tapi setelah dua tahum diam kok baru sekarang disampaikan klaim. Selain itu kalau mereka yakin kok tidak menuntut semuanya malah dibagi rata. Jelas ini hanya akal-akalan saja,” kata Bupati yang kemarin (29/11) meninjau langsung Suban IV bersama jajarannya, LSM dan juga wartawan termasuk Abu Bakar Cs, sebagai tim pensehat hukum Pemkab Mura yang sudah sejak lama ada. Dari semua kenyataan itulah Bupati sudah mantap akan melakukan perlawanan tentunya tetap sesuai koridor mengikuti jalur hukum yang berlaku.
“Intinya ada beberapa langkah yang akan dilakukan Pemkab Mura agar permasalahan ini bisa cepat selesai. Tepatnya dalam mempertahankan Suban IV yang sudah ditetapkan dengan produk hukum dalam hal ini Permendagri No.63/2007,” kata Ridwan Mukti. Pertama yakni membuat laporan secara terperinci dan mengajukan kebekaran kepada Menteri Dalam Negeri dengan berbagai pertimbangan dan dasar-dasar yang jelas. Mulai dari Permendagri No 63/2007 hingga puncaknya ada rapat di Depdagri yang ingin memaksakan kehendak mengambil hak Kabupaten Mura atas Suban IV tanpa dasar atau kaidah hukum yang jelas.
“Selanjutnya meminta agar rekomendasi Gubernur Sumsel mengenai win win solution dicabut secepatnya,” kata Ridwan Mukti. Tidak itu saja Pemkab Mura akan membuat surat atau semacam curhat politik untuk meminta saran kepada pakar hukum di Universitas Sriwijaya (Unsri) dan Universitas Islam Indonesia (UII) terkait permasalahan yang terjadi. Termasuk kebsahan Permendagri No. 63/2007 dan juga langkah perlawanan Pemkab Muba dengan membuat peta wilayah tanpa dasar hokum yang jelas.
“Selain itu melalui Bagian Humas kita juga akan membuat semacam legal opini. Maksudnya Pemkab Mura akan membuka corong informasi seluas-luasnya mengenai Suban IV.
empertemukan dengan pihak-pihak yang berkompeten untuk memastikan bagaimana kondisi sebenarnya. Jangan sampai muncul opini bahwasanya Suban IV adalah milik Muba,” katanya.
*Suban IV Jauh Dari Perbatasan
Sementara itu kemarin (29/11) Bupati Mura, H Ridwan Mukti bersama pejabat, perangkat kecamatan Rawas Ilir, Desa Pauh serta masyarakat, wartawan, Koordinator LSM SUU Herman Sawiran serta tim kuasa hukum Pemkab Mura meninjau langsung lokasi Suban IV. Setelah menempuh perjalanan selama empat jam, Bupati langsung meninjau lokasi sumur gas yang ingin direbut Muba itu dan bertemu langsung dengan HM Yahya yang sebelumnya adalah pemilik lahan tersebut.
Ketika datang Bupati memerintahkan petugas untuk melakukan pengukuran dengan dua GPS sekaligus. Dan hasilnya ternyata sama dimana lokasi berada pada titik 0315642-9718128. Dari titik tersebut dilakukan pengukuran dan crosscek dengan peta untuk melihat jarak lokasi sumur gas dengan perbatasan.
“Hasilnya sangat jelas dari dua titik yang sama dari dua DPS berbda Suban IV berada 1,2 Km arah utara dari perbatasan dan 600 meter ari perbatasan arah timur. Jadi jelas sangat jauh dari perbatasan, tidak bisa disebut berada di perbatasan. Jadi ketika tapat batas tidak ada masalah ini juga sudah clear tidak ada masalah karena memang Suban IV berada jauh dari perbatasan,” papar Bupati.
Dengan hasil tersebut Pemkab Mura menurut Bupati makin berambah yakin akan memperjuangkan Suban IV sampai titik darah penghabisan jangan sampai diambil Muba. Terlebih masyarakat sudah mendukung dengan penggalangan tandatangan yang menegaskan Suban IV masuk wilayah Mura.
Sebelumnya diinformasikan, rapat membahas tapal batas dan kepemilikan sumur minyak Blok Suban 4 antara Kabupaten Musi Rawas dan Musi Banyuasin, di Sumatra Selatan (Sumsel) yang dipimpin Gubernur Sumsel, Alex Noerdin dan pejabat Depdagri di Jakarta, Kamis (26/11) berlangsung panas.
Bupati Musi Rawas (Mura), H Ridwan Mukti bersama pimpinan DPRD Mura akhirnya memilih keluar ruang (WO) karena kecewa dengan upaya menyelesaikan masalah tapal batas yang dianggap akan merugikan Kabupaten Mura. Ridwan Mukti dan rombongan DPRD Kabupaten Mura memutuskan WO dari rapat yang berlangsung di Kantor Ditjen Pemerintahan Umum, Depdagri, Jl Kebon Sirih, Jakarta. Ridwan Mukti yang sebelumnya pernah menjadi anggota DPR RI mengemukakan, tindakannya WO didasarkan pada adanya upaya menggiring forum rapat untuk menyepakati usulan garis batas baru yang diusulkan Gubernur Sumsel, Alex Noerdin untuk dijadikan Permendagri baru.
Tapal batas yang diusulkan Alex Noerdin itu dinilai merugikan masyarakat Mura. Padahal sebelum ini, sudah ada Permendagri No 63/2007 yang menetapkan Mura sebagai pemilik sumur yang terletak di Kecamatan Rawas Ilir itu. Keputusan itu terkait dengan kuatnya bukti yang dimiliki Mura mengenai wilayah itu, termasuk peta perang tahun 1962 yang berasal dari Jawatan Topografi Angkatan Darat dan hasil penelitian lain.
Bahkan, hingga kini masyarakat di lokasi tersebut membayar PBB ke Mura. "Mohon maaf, Pak, kami minta (rapat) dihentikan. Ini negara demokrasi, negara hukum. Jadi tolong dihormati hak konstitusional kami untuk menggunakan jalur hukum. Jangan paksakan untuk menerima. Mohon maaf, kami tidak dapat lagi mengikuti rapat ini," kata Ridwan Mukti.
Selanjutnya Ridwan Mukti berdiri dan keluar ruangan, yang kemudian diikuti pimpinan dan anggota DPRD Musi Rawas serta pejabat di lingkungan Pemkab Mura lainnya. Aksi WO itu menyebabkan pimpinan dan peserta rapat mendadak terdiam.
Rapat ini selain dihadiri Gubernur Sumsel Alex Noerdin, juga tampak di meja pimpinan rapat Ketua DPRD Sumsel Wasista Bambang Utoyo, Direktur Wilayah Administrasi dan Perbatasan, Ditjen Pemerintahan Umum Eko Subowo, Direktur Manajemen Pencegahan Penanggulangan Bencana Depdagri Drs Moh Roem, MM. Kemudian Bupati Musi Rawas Ridwan Mukti, Bupati Musi Banyuasin (Muba) Pahri Azhari, pimpinan dan anggota DPRD Mura dan Muba serta pejabat terkait di kedua daerah.
Suasana panas memang sudah berlangsung sejak awal rapat yang dimulai pukul 09.40 WIB. Alex Noerdin berulang-ulang menawarkan apa yang diklaimnya sebagai "win-win solution" dari konflik yang sudah berlangsung cukup lama itu. Namun yang dimaksud "win-win solution" oleh mantan Bupati Muba ini dikesankan memihak kepada Muba. Apalagi pembuatan tim penengah yang menghasilkan peta "garis tengah" sebagai batas kedua daerah tidak melibatkan Pemkab Mura. Hal itu ditegaskan Kabag Tata Pemerintahan Setda Mura, Ali Sadikin.
Menurut Ali, tim gubernur sama sekali tidak melibatkan tim Mura untuk kegiatan di lapangan, bahkan sebelum pertemuan 29 Oktober 2009 pihak Mura tidak diberikan peta batas baru itu. "Kami justru mengambil sendiri peta itu pada 2 November 2009," kata Ali Sadikin.
Dalam rapat itu Alex Noerdin mendesak Ridwan Mukti untuk melihat dulu peta yang ditawarkannya. Namun, Ridwan menolak dan tetap pada pendirian bahwa soal tapal batas lainnya tidak masalah, kecuali hanya pada titik P-9 (titik lokasi Suban 4).
"Tunggu dulu, Pak. Tak ada manfaatnya ditampilkan peta itu. Masalah kita ada pada titik P-9 itu, bukan pada perbatasan lainnya," kata dia.
Garis batas yang diusulkan Gubernur berupa garis hitam yang membelah batas yang diklaim Muba dan Mura, dengan titik singgung di utara, yakni P9. Menurut Alex Noerdin, titik itu nanti akan dikelola secara bersama.
Namun, Ridwan Mukti sendiri mempertanyakan apa landasan Gubernur menarik garis hitam itu. Perdebatan semakin meruncing ketika Direktur Wilayah Administrasi dan Perbatasan, Ditjen Pemerintahan Umum Eko Subowo mencoba untuk menarik kesimpulan, termasuk menanyakan kepada Bupati Muba apakah menyepakati garis batas baru yang diusulkan gubernur. Nada suara Ridwan Mukti kemudian semakin meninggi.
"Sebentar Pak. Saya tidak setuju. Jangan paksakan kami untuk menerima. Ini bisa membuat ribut masyarakat. Bapak itu 'kan di pusat, enak saja karena tidak akan tahu akibat di bawah. Jadi tolong hormati hak kami!" katanya dengan nada tinggi.
Ridwan Mukti kepada pers di luar ruang rapat mengatakan pihaknya melihat gelagat otoriterisme dalam rapat, terutama dengan penarikan garis batas baru yang dibuat.