28 November 2009

Gubernur Sumsel Dinilai Sewenang-wenang


*Rapat Suban 4 Memanas, Bupati Mura "Walk Out"

JAKARTA- Rapat membahas tapal batas dan kepemilikan sumur minyak Blok Suban 4 antara Kabupaten Musi Rawas dan Musi Banyuasin, di Sumatra Selatan (Sumsel) yang dipimpin Gubernur Sumsel, Alex Noerdin dan pejabat Depdagri di Jakarta, Kamis (26/11) berlangsung panas.

Bupati Musi Rawas (Mura), H Ridwan Mukti bersama pimpinan DPRD Mura akhirnya memilih keluar ruang (WO) karena kecewa dengan upaya menyelesaikan masalah tapal batas yang dianggap akan merugikan Kabupaten Mura. Ridwan Mukti dan rombongan DPRD Kabupaten Mura memutuskan WO dari rapat yang berlangsung di Kantor Ditjen Pemerintahan Umum, Depdagri, Jl Kebon Sirih, Jakarta. Ridwan Mukti yang sebelumnya pernah menjadi anggota DPR RI mengemukakan, tindakannya WO didasarkan pada adanya upaya menggiring forum rapat untuk menyepakati usulan garis batas baru yang diusulkan Gubernur Sumsel, Alex Noerdin untuk dijadikan Permendagri baru.

Tapal batas yang diusulkan Alex Noerdin itu dinilai merugikan masyarakat Mura. Padahal sebelum ini, sudah ada Permendagri No 63/2007 yang menetapkan Mura sebagai pemilik sumur yang terletak di Kecamatan Rawas Ilir itu.  Keputusan itu terkait dengan kuatnya bukti yang dimiliki Mura mengenai wilayah itu, termasuk peta perang tahun 1962 yang berasal dari Jawatan Topografi Angkatan Darat dan hasil penelitian lain.

Bahkan, hingga kini masyarakat di lokasi tersebut membayar PBB ke Mura. "Mohon maaf, Pak, kami minta (rapat) dihentikan. Ini negara demokrasi, negara hukum. Jadi tolong dihormati hak konstitusional kami untuk menggunakan jalur hukum. Jangan paksakan untuk menerima. Mohon maaf, kami tidak dapat lagi mengikuti rapat ini," kata Ridwan Mukti.

Selanjutnya Ridwan Mukti berdiri dan keluar ruangan, yang kemudian diikuti pimpinan dan anggota DPRD Musi Rawas serta pejabat di lingkungan Pemkab Mura lainnya. Aksi WO itu menyebabkan pimpinan dan peserta rapat mendadak terdiam.

Rapat ini selain dihadiri Gubernur Sumsel Alex Noerdin, juga tampak di meja pimpinan rapat Ketua DPRD Sumsel Wasista Bambang Utoyo, Direktur Wilayah Administrasi dan Perbatasan, Ditjen Pemerintahan Umum Eko Subowo, Direktur Manajemen Pencegahan Penanggulangan Bencana Depdagri Drs Moh Roem, MM. Kemudian Bupati Musi Rawas Ridwan Mukti, Bupati Musi Banyuasin (Muba) Pahri Azhari, pimpinan dan anggota DPRD Mura dan Muba serta pejabat terkait di kedua daerah.

Suasana panas memang sudah berlangsung sejak awal rapat yang dimulai pukul 09.40 WIB. Alex Noerdin berulang-ulang menawarkan apa yang diklaimnya sebagai "win-win solution" dari konflik yang sudah berlangsung cukup lama itu. Namun yang dimaksud "win-win solution" oleh mantan Bupati Muba ini dikesankan memihak kepada Muba. Apalagi pembuatan tim penengah yang menghasilkan peta "garis tengah" sebagai batas kedua daerah tidak melibatkan Pemkab Mura. Hal itu ditegaskan Kabag Tata Pemerintahan Setda Mura, Ali Sadikin.

Menurut Ali, tim gubernur sama sekali tidak melibatkan tim Mura untuk kegiatan di lapangan, bahkan sebelum pertemuan 29 Oktober 2009 pihak Mura tidak diberikan peta batas baru itu. "Kami justru mengambil sendiri peta itu pada 2 November 2009," kata Ali Sadikin.

Dalam rapat itu Alex Noerdin mendesak Ridwan Mukti untuk melihat dulu peta yang ditawarkannya. Namun, Ridwan menolak dan tetap pada pendirian bahwa soal tapal batas lainnya tidak masalah, kecuali hanya pada titik P-9 (titik lokasi Suban 4).

"Tunggu dulu, Pak. Tak ada manfaatnya ditampilkan peta itu. Masalah kita ada pada titik P-9 itu, bukan pada perbatasan lainnya," kata dia.

Ketika akhirnya peta diperlihatkan di layar monitor, Ridwan berulang- ulang tampak geleng-geleng kepala. Dalam peta yang diperlihatkan itu, terlihat garis batas yang diinginkan Muba dengan garis lurus merah masuk ke arah daerah yang diklaim Mura menjadi daerahnya.

Garis batas yang diusulkan Gubernur berupa garis hitam yang membelah batas yang diklaim Muba dan Mura, dengan titik singgung di utara, yakni P9. Menurut Alex Noerdin, titik itu nanti akan dikelola secara bersama.

Namun, Ridwan Mukti sendiri mempertanyakan apa landasan Gubernur menarik garis hitam itu. Perdebatan semakin meruncing ketika Direktur Wilayah Administrasi dan Perbatasan, Ditjen Pemerintahan Umum Eko Subowo mencoba untuk menarik kesimpulan, termasuk menanyakan kepada Bupati Muba apakah menyepakati garis batas baru yang diusulkan gubernur. Nada suara Ridwan Mukti kemudian semakin meninggi.

"Sebentar Pak. Saya tidak setuju. Jangan paksakan kami untuk menerima. Ini bisa membuat ribut masyarakat. Bapak itu 'kan di pusat, enak saja karena tidak akan tahu akibat di bawah. Jadi tolong hormati hak kami!" katanya dengan nada tinggi.

Ridwan Mukti kepada pers di luar ruang rapat mengatakan pihaknya melihat gelagat otoriterisme dalam rapat, terutama dengan penarikan garis batas baru yang dibuat.

 "Intinya Mura hanya minta pengadilan yang memutuskan itu.Berikanlah hak konstitusional kami. Kita selesaikan saja lewat jalur hukum, biar publik juga tahu letak persoalannya," kata Ridwan. (net/ME-02)

0 komentar:

Top Reader

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More